Skandal Pemalsuan Silsilah Jero Kepisah, Sengketa Tanah atau Permainan Hukum?

    Skandal Pemalsuan Silsilah Jero Kepisah, Sengketa Tanah atau Permainan Hukum?
    Situasi sidang jero kepisah, di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (11/2/2025). 

    DENPASAR - Sidang lanjutan kasus dugaan pemalsuan silsilah keluarga yang menyeret terdakwa A.A. Ngurah Oka kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (11/2/2025). 

    Perkara yang menyedot perhatian publik ini mengungkap fakta-fakta mengejutkan, termasuk pencabutan tanda tangan dalam dokumen silsilah yang menjadi dasar sertifikasi tanah milik Puri Jambe Suci, Denpasar.

    Dalam persidangan, I Wayan Sambrag, mantan Klian Dinas Banjar Kepisah (1979-1992), mengungkap bahwa ia pernah menandatangani silsilah Jero Kepisah pada tahun 1983. 

    Namun, ia menegaskan bahwa dokumen tersebut dibuat oleh orang tua terdakwa, bukan merujuk pada silsilah Jero Jambe Suci Denpasar.

    "Yang membuat silsilah yang saya tanda tangani sudah meninggal. Saya hanya tahu Jero Kepisah, tidak tahu soal Jero Jambe Suci. Selama bertahun-tahun tidak ada masalah, baru sekarang ini muncul, " ungkap Sambrag.

    Lebih lanjut, mantan Camat Denpasar Selatan, Anak Agung Gede Risnawan, mengungkap fakta mengejutkan dengan mencabut tanda tangannya dalam dokumen silsilah yang digunakan terdakwa untuk sertifikasi tanah. Menurutnya, tanda tangan dalam dokumen tersebut tidak sah.

    "Ada silsilah tahun 1983, jadi silsilah dikembalikan ke yang lama, " ujar Risnawan.

    Ia menegaskan bahwa keputusan mencabut tanda tangan tersebut didasarkan pada keterangan kepala lingkungan setempat, yang menyatakan bahwa lima nama dalam silsilah yang diajukan sebenarnya merujuk pada satu orang, yaitu I Gusti Gede Raka Ampug. 

    Risnawan juga mengungkapkan bahwa dirinya baru mengetahui adanya masalah ini pada tahun 2022, setelah mendapat panggilan dari Polda Bali—bertahun-tahun setelah ia tak lagi menjabat sebagai camat (2011-2017).

    Kuasa hukum terdakwa, Made Somya Putra, dengan tegas menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi. Menurutnya, perkara ini seharusnya masuk dalam ranah perdata, bukan pidana.

    "Bagaimana mungkin sengketa kepemilikan tanah berubah menjadi kasus pemalsuan dokumen? Ini bukan hanya cacat hukum, tapi juga bisa menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan di Bali, " kecam Somya.

    Ia juga menyoroti fakta bahwa pelapor berasal dari Puri Jambe Suci dan tidak memiliki hubungan darah dengan pihak yang bersengketa. Bahkan, pelapor tidak menguasai objek yang dilaporkan.

    "Jika pelapor tidak memiliki hubungan langsung dengan objek sengketa, lalu apa dasar hukumnya? Ini jelas ada kepentingan tersembunyi, " tegasnya.

    Somya menambahkan, jalannya persidangan menunjukkan bahwa kasus ini lebih berkutat pada status kepemilikan tanah daripada dugaan pemalsuan silsilah.

    "Dakwaan jaksa menuding Ngurah Oka telah memalsukan silsilah, tetapi dalam persidangan lebih banyak membahas kepemilikan tanah. Ini semakin menguatkan bahwa kasus ini adalah sengketa perdata yang dipaksakan menjadi pidana, " pungkasnya.

    Sidang ini masih berlanjut dan diprediksi akan terus memunculkan fakta-fakta baru yang bisa mengubah arah kasus. 

    Akankah ini menjadi skandal hukum yang membuka mata publik, atau justru semakin menegaskan adanya permainan hukum di balik sengketa tanah ini? (Ray)

    mafia tanah hukum kasus bidik kasus
    Ray

    Ray

    Artikel Sebelumnya

    PT BTID Tegaskan Nama Pantai Serangan Tetap,...

    Berita terkait